HARGA SEBUAH DEMOKRASI
DEMOKRASI DAN PEMBIASAN
IDEALISME RAKYAT
Demokrasi secara etimologis
berasal dari bahasa Yunani demos
artinya rakyat dan cratos artinya kekuasaan. Jadi demokrasi merupakan sistem pemerintahan negara yang
meletakkan kedaulatannya di tangan rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau pun melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah
demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles
di Athena sekitar abad
ke 5 SM, sebagai suatu bentuk pemerintahan
yang menetapkan bahwa kekuasaan berada
di tangan orang banyak (rakyat). Dalam pemahaman yang lebih populer dikenal
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pada masa awal
perkembangannya di Athena, demokrasi
memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun tidak semua orang dapat
mengemukakan pendapat mereka, melainkan hanya laki-laki saja. Sedangkan kaum
wanita, hamba
sahaya, orang asing dan penduduk yang orang tuanya
bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu.
Sistem ini muncul sebagai antitesa dari sistem kekuasaan absolutisme yang meletakkan
kedaulatan pada tangan seorang raja. Dalam sistem kerajaan absolut, kekuasaan
raja benar-benar tidak terbatas. Raja bisa membuat peraturan yang sesuai dengan
kepentingan pribadinya, dia tidak bisa
dijatuhi hukuman karena dia merupakan pembuat undang-undang.
Sistem
kekuasaan tidak terbatas itu sering menimbulkan ketidakadilan terhadap rakyat
terutama dari kalangan bawah. Hal inilah yang banyak menimbulkan perlawanan
dari kalangan yang merasa dikecilkan dan dilemahkan oleh sistem kekuasaan.
Kondisi ini pula yang sering menimbulkan
gerakan massa bahkan revolusi untuk
mengubah sistem pemerintahan ke arah yang lebih egaliter
dan memiliki kesetaraan bagi semua warga negara.
Pada
masa pencerahan di Eropa, seorang pemikir politik Perancis, Montesquieu (1689 – 1755) meluncurkan
teori yang dikenal dengan trias
politica yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga unsur yaitu kekuasaan legislatif (pembuat peraturan), eksekutif (pelaksanan peraturan) dan yudikatif
(pengawas pelaksanaan peraturan). Tiga unsur kekuasaan itu tidak boleh berada pada satu orang atau pada satu
lembaga, melainkan harus terpisah. Dalam perkembangannya, teori ini banyak
memengaruhi sistem pemerintahan dan konstitusi negara-negara modern di seluruh
dunia.
Montesquieu (1689-1755)
Pemilihan Umum
Demokrasi memungkinkan
rakyat menentukan pemimpinnya melalui pemilihan umum. Pemilihan umum yang
benar-benar jujur, adil, tanpa intimidasi, akan mampu menghasilkan pemimpin
yang memiliki legitimasi kuat karena
didukung oleh mayoritas. Kita sering gagal dalam mempraktikkan sistem pemilihan
yang berkualitas karena semata-mata hanya untuk mencari kemenangan. Hal inilah
yang melahirkan adagium di
tengah-tengah masyarakat awam, bahwa politik itu kotor. Padahal politik sebagai
sebuah ilmu merupakan sesuatu yang steril namun manakala politik itu bersentuhan
dengan masalah-masalah praktis, maka pelaku politik sering berbuat kotor dengan
menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Ungkapan “Biar curang asal menang”, akan mengakibatkan kesucian hati nurani
dan demokrasi menjadi terkontaminasi
oleh nafsu keserakahan pelakunya.
Pemilihan umum hendaknya
tidak semata-mata menjadi arena pesta demokrasi rakyat, melainkan menjadi
momentum pendidikan politik bagi rakyat, agar mereka tahu hak dan kewajibannya
sebagai warga negara. Pemilihan umum harus mampu menumbuhsuburkan idealisme rakyat tentang gambaran negara
yang dicita-citakannya. Akan tetapi idealisme ini sering tidak muncul karena
ditumpulkan oleh berbagai godaan yang membiaskan cita-cita mereka serta
mengesampingkan nurani demi pemenuhan kebutuhan ekonomi alias kepentingan perut.
Akibatnya, terjadilah pelelangan suara, siapa yang berani bayar paling tinggi, maka
itulah yang akan menjadi pilihannya. Di sinilah mungkin salah satu celah
kelemahan sistem demokrasi yang hanya mengejar suara mayoritas.
Berdasarkan pengalaman yang
kita rasakan dari pemilu ke pemilu, di antara
hal-hal yang memembiaskan
idealisme masyarakat itu antara lain:
Pertama, adanya politik uang.
Politik uang sering dilakukan oleh kader atau bahkan pengurus partai politik atau tim sukses calon kepala
daerah menjelang hari pelaksanaan pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan tidak
semata-mata berupa uang, melainkan berbentuk sembako antara lain beras, minyak, gula dan lain-lain yang berhubungan dengan
urusan perut, dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka
memberikan suaranya kepada partai atau kepada calon pemimpin yang bersangkutan.
Kedua, adanya janji palsu politisi.
Dalam kampanye pemilu baik pemilu
legislatif maupun eksekutif, kita sebagai warga masyarakat sering diberi
iming-iming janji para politisi. Masyarakat kita sudah cukup berpengalaman
menghadapi janji-jnji itu, sebab dalam kenyataannya setelah mereka memperoleh
kedudukan politik, kepentingan masyarakat sering tidak disentuh. Rakyat hanyalah
bagaikan orang yang mendorong mobil mogok. Tatkala mesin mobil sudah hidup
kemudian dia melaju mininggalkan orang-orang yang mendorongnya.
Janji politisi itu seolah-olah lumrah
saja. Bahwa janji itu adalah hutang, sudah tidak menjadi dalil lagi karena yang
dituju adalah kemenangan. Sehingga ada ungkapan yang menyatakan bahwa politisi
itu boleh bohong tapi tidak boleh salah. Sedangkan seorang ilmuwan boleh salah
tapi tidak boleh bohong. Seorang politisi berorientasi kepada kemenangan
sedangkan ilmuwan berorientasi kepada kebenaran. Bisa saja seorang imuwan
mengambil hipotesa tapi ternyata
setelah diuji secara empiris hipotesanya itu salah. Kalau seorang ilmuwan
mencampur air dengan gula maka pasti akan menjadi air manis, tapi ketika air
itu diminum oleh politisi dia mengatakan air itu rasanya pahit, padahal takut
direbut oleh orang lain yang memiliki kepentingan sama.
Demokrasi di tanah air
Perjalanan sejarah demokrasi di tanah
air kita sudah mengalami pasang surut. Bahwa negeri kita merupakan negeri yang multi kultural yang apabila dipersatukan
maka akan menjadi sebuah mozaik indah
bagaikan bianglala. Indahnya
bianglala karena memiliki lapisan warna-warni yang memikat. Indahnya
taman karena dihiasi dengan bunga yang beraneka warna, sehingga pemandangan
tidak monoton. Tapi hal itu ternyata
hanyalah ungkapan teoritis dan sebuah
tamsil yang memukau untuk didingar
namun sulit direalisasikan.
Penerapan sistem demokrasi
di negara-negara yang multikultural
seperti negara kita, atau seperti di
India, sering mengalami kegalauan
karena adanya bentrokan kepentingan antara satu kelompok masyarakat dengan
kelompok masyarakat lainnya. Di negeri
yang multi etnis dan multi kultural itulah sering terjadinya konflik horizontal akibat berebut
kepentingan. Tidak terhitung adanya kejadian bentrok masa antar para pendukung
dalam pemilihan kepala daerah di tanah air. Mereka hanya siap menang, tapi
tidak siap kalah. Akibatnya, bukan keuntungan yang kita peroleh melainkan
kerugian, kerusakan, dan dendam
permusuhan yang terpendam bagai
api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa muncul kepermukaan. Beda halnya dengan beberapa negara yang monokultural seperti Korea Selatan dan
Jepang, sistem ini relatif berhasil dibanding kita. Sekarang kita baru
menginjak kepada tahap belajar berdemokrasi. Semoga terus maju!
Ciaul, Januari 2013
No comments:
Post a Comment