Thursday, October 27, 2011

PENDIDIKAN AGAMA BAGI ANAK-ANAK USIA DINI


PENDIDIKAN AGAMA BAGI ANAK-ANAK
USIA DINI
Oleh Une Sasmita, S.IP
            Setiap orang tua yang memiliki rasa tanggung jawab, tentu berpendapat bahwa pendidikan agama perlu ditanamkan kepada jiwa anak sejak dini. Nabi Muhammad s.a.w. telah bersabda: “Didiklah anak-anakmu karena mereka akan hidup pada suatu jaman yang berbeda dengan jaman kamu.” Namun yang agaknya menjadi permasalahan adalah bagaimana isi dan metode yang perlu diterapkan agar pendidikan itu bisa efektif terhunjam dalam jiwa anak hingga masa dewasanya bahkan hingga akhir hayatnya.
            Pendidikan agama yang paling mendasar yang perlu ditanamkan pada jiwa anak sejak dini meliputi tiga hal pokok yaitu:
            Pertama, pendidikan untuk mengenal kepada Yang Maha Pencipta. Ini adalah landasan pertama dan paling utama yang harus diperkenalkan kepada anak. Keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Pencipta merupakan pondasi yang paling dasar yang akan menopang seluruh rangkaian perjalanan hidup anak kita sepanjang hayatnya. Untuk mengenal Allah sebagai pencipta, maka kepada anak-anak perlu ditanamkan dasar-dasar logika  paling sederhana yaitu bahwa seluruh benda yang ada di sekitar kita seperti kursi, meja, televisi dan sebagainya, ada pembuatnya. Demikian pula  alam semesta berupa langit, bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, seluruh makhluk hidup dan makhluk tidak hidup, tentu ada penciptanya. Itulah Allah Sang Pencipta. Mustahil benda itu terjadi sendirinya tanpa ada pembuatnya. Jika hal ini  kita tanamkan pada pikiran anak, berarti kita telah mengajarkan tentang sifat wujud bagi Allah. Keyakinan terhadap adanya Allah itulah yang merupakan prinsip pertama dalam  rukun Iman yang harus terlebih dahulu tertanam sebelum iman kepada malaikat, kitab-kitab, para rosul, hari kiyamat, dan iman kepada qodho dan qodar. Rukun iman yang kedua sampai keenam akan runtuh kalau rukun yang pertamanya goyah. Karena itu iman kepada Allah harus dimasukkan ke dalam jiwa anak sedini mungkin, sebelum mereka belajar tentang membaca, menulis, berhitung dan lain-lain.  
            Banyak cara yang bisa diterapkan oleh orang tua untuk mengenalkan Allah Maha Pencipta. Misalnya pada waktu orang tua membawa anaknya melihat gunung yang kelihatan biru, atau melihat air laut yang terus bergerak, atau air sungai yang mengalir meliuk-liuk, di situlah momentum yang tepat untuk mengisi memori otak
anak kita dengan rekaman tentang kebesaran Ilahi melalui kedahsyatan ciptaan-Nya. Menanamkan kebesaran Allah melalui dalil-dalil naqly yang dipetik dari ayat-ayat Al Qur’an atau Hadis Rosulullah, mungkin masih terlalu berat bagi anak, karena itu cara ini bisa ditunda sampai masa yang tepat.
            Kedua, pendidikan tentang ibadah kepada Allah. Ibadah adalah bentuk pengabdian kepada Allah. Dalam pengertian yang seluas-luasnya ibadah meliputi segala perbuatan baik yang diridoi Allah. Dalam pengertian yang sempit ibadah meliputi rukum islam yang lima, yakni syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Rukun islam yang lima itu merupakan bentuk ibadah yang sudah diatur tata caranya oleh Allah dan Rosul-Nya. Dalam terminology agama Islam itulah yang disebut ibadah mahdoh. Tidak boleh sedikit pun direkayasa oleh kita. Sedangkan ibadah dalam pengertian seluas-luasnya, itulah yang disebut dengan amal salih yakni segala amal perbuatan yang dapat mendatangkan manfat bagi diri pelakunya maupun bagi orang
lain. Adapun tatacara beramal salih, bisa diatur sendiri oleh kita. Misalnya, bagaimana kita berbuat baik kepada sesama manusia, banyak sekali bentuknya dan kita bebas untuk mengatur tata caranya.
            Inti dari segala ibadah adalah shalat lima waktu. Karena itulah Rosulullah memerintahkan dalam sebiuah hadisnya, “Perintahlah anak-anakmu shalat jika sudah usia tujuh tahun. Dan bila usia sepuluh tahun masih belum mau melaksanakan shalat, maka pukullah.” Perintah memukul di sini tentu pukulan sebagai tindakan edukatif.
            Menanamkan kesadaran terhadap shalat lima waktu bagi anak-anak usia dini yang paling efektif adalah melalui pembiasaan. Orang tua hendaknya lebih banyak mengajak daripada menyuruh. Metode pemberian contoh secara  demonstratif akan lebih efektif daripada pemberian tugas atau perintah.
            Ketiga, pendidikan tentang ihsan yaitu sikap dan sifat komitmen kepada kebaikan karena mempunyai keyakinan bahwa segala perilakunya diawasi oleh Allah. Ihsan berasal dari kata hasan yang berarti baik. Pada waktu Rosulullah s.a.w. ditanya oleh seorang sahabat, “Apakah ihsan itu?” Jawab Rosul, “ Ihsan itu adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau (Hadis Riwayata Bukhori).
 Menanamkan sifat ihsan kepada anak-anak berarti menanamkan kesadaran bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah Yang Maha Melihat. Kalau keyakinan ini tertanam kokoh pada jiwa anak, maka keyakinan inilah yang akan membentengi jiwa anak sepanjang hayatnya dari perbuatan-perbuatan maksiat kepada Allah. Dia akan
menyadari  bahwa tidak  ada lahan  yang bisa dijadikan tempat bersembunyi dari
pandangan Allah, sehingga dia melakukan suatu kebaikan bukan karena takut oleh manusia atau karena diperintah oleh orang tua melainkan atas dasar kesadaran pribadi yang timbul dari keimanan kepada Allah. Sikap dan sifat ini sangat penting untuk dijadikan bekal oleh anak dalam mengarungi pergaulan hidup kelak di tengah msyarakat. Dia tidak melakukan kejahatan bukan karena takut oleh polisi atau oleh orang lain, melainkan karena yakin bahwa perbuatannya akan dilihat oleh Allah.
Ketiga landasan itu dalam terminologi islam dikatakan dengan sebutan iman, islam dan ihsan. Tiga landasan itulah perlu kita tanamkan pada jiwa anak sedini mungkin karena ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan untuk membentuk sebuah pribadi muslim yang utuh dan menyeluruh. Wallahu a’lam.
           

Saturday, October 8, 2011

PENDIDIKAN AGAMA BAGI ANAK


PENDIDIKAN AGAMA BAGI ANAK-ANAK
USIA DINI

            Setiap orang tua yang memiliki rasa tanggung jawab, tentu berpendapat bahwa pendidikan agama perlu ditanamkan kepada jiwa anak sejak dini. Nabi Muhammad s.a.w. telah bersabda: “Didiklah anak-anakmu karena mereka akan hidup pada suatu jaman yang berbeda dengan jaman kamu.” Namun yang agaknya menjadi permasalahan adalah bagaimana isi dan metode yang perlu diterapkan agar pendidikan itu bisa efektif terhunjam dalam jiwa anak hingga masa dewasanya bahkan hingga akhir hayatnya.
            Pendidikan agama yang paling mendasar yang perlu ditanamkan pada jiwa anak sejak dini meliputi tiga hal pokok yaitu:
            Pertama, pendidikan untuk mengenal kepada Yang Maha Pencipta. Ini adalah landasan pertama dan paling utama yang harus diperkenalkan kepada anak. Keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Pencipta merupakan pondasi yang paling dasar yang akan menopang seluruh rangkaian perjalanan hidup anak kita sepanjang hayatnya. Untuk mengenal Allah sebagai pencipta, maka kepada anak-anak perlu ditanamkan dasar-dasar logika  paling sederhana yaitu bahwa seluruh benda yang ada di sekitar kita seperti kursi, meja, televisi dan sebagainya, ada pembuatnya. Demikian pula  alam semesta berupa langit, bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, seluruh makhluk hidup dan makhluk tidak hidup, tentu ada penciptanya. Itulah Allah Sang Pencipta. Mustahil benda itu terjadi sendirinya tanpa ada pembuatnya. Jika hal ini  kita tanamkan pada pikiran anak, berarti kita telah mengajarkan tentang sifat wujud bagi Allah. Keyakinan terhadap adanya Allah itulah
2
yang merupakan prinsip pertama dalam  rukun Iman yang harus terlebih dahulu tertanam sebelum iman kepada malaikat, kitab-kitab, para rosul, hari kiyamat, dan iman kepada qodho dan qodar. Rukun iman yang kedua sampai keenam akan runtuh kalau rukun yang pertamanya goyah. Karena itu iman kepada Allah harus dimasukkan ke dalam jiwa anak sedini mungkin, sebelum mereka belajar tentang membaca, menulis, berhitung dan lain-lain.     
            Banyak cara yang bisa diterapkan oleh orang tua untuk mengenalkan Allah Maha Pencipta. Misalnya pada waktu orang tua membawa anaknya melihat gunung yang kelihatan biru, atau melihat air laut yang terus bergerak, atau air sungai yang mengalir meliuk-liuk, di situlah momentum yang tepat untuk mengisi memori otak
anak kita dengan rekaman tentang kebesaran Ilahi melalui kedahsyatan ciptaan-Nya. Menanamkan kebesaran Allah melalui dalil-dalil naqly yang dipetik dari ayat-ayat Al Qur’an atau Hadis Rosulullah, mungkin masih terlalu berat bagi anak, karena itu cara ini bisa ditunda sampai masa yang tepat.
            Kedua, pendidikan tentang ibadah kepada Allah. Ibadah adalah bentuk pengabdian kepada Allah. Dalam pengertian yang seluas-luasnya ibadah meliputi segala perbuatan baik yang diridoi Allah. Dalam pengertian yang sempit ibadah meliputi rukum islam yang lima, yakni syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Rukun islam yang lima itu merupakan bentuk ibadah yang sudah diatur tata caranya oleh Allah dan Rosul-Nya. Dalam terminology agama Islam itulah yang disebut ibadah mahdoh. Tidak boleh sedikit pun direkayasa oleh kita. Sedangkan ibadah dalam pengertian seluas-luasnya, itulah yang disebut dengan amal salih yakni segala amal perbuatan yang dapat mendatangkan manfat bagi diri pelakunya maupun bagi orang
3
lain. Adapun tatacara beramal salih, bisa diatur sendiri oleh kita. Misalnya, bagaimana kita berbuat baik kepada sesama manusia, banyak sekali bentuknya dan kita bebas untuk mengatur tata caranya.
            Inti dari segala ibadah adalah shalat lima waktu. Karena itulah Rosulullah memerintahkan dalam sebiuah hadisnya, “Perintahlah anak-anakmu shalat jika sudah usia tujuh tahun. Dan bila usia sepuluh tahun masih belum mau melaksanakan shalat, maka pukullah.” Perintah memukul di sini tentu pukulan sebagai tindakan edukatif.
            Menanamkan kesadaran terhadap shalat lima waktu bagi anak-anak usia dini yang paling efektif adalah melalui pembiasaan. Orang tua hendaknya lebih banyak mengajak daripada menyuruh. Metode pemberian contoh secara  demonstratif akan lebih efektif daripada pemberian tugas atau perintah.
            Ketiga, pendidikan tentang ihsan yaitu sikap dan sifat komitmen kepada kebaikan karena mempunyai keyakinan bahwa segala perilakunya diawasi oleh Allah. Ihsan berasal dari kata hasan yang berarti baik. Pada waktu Rosulullah s.a.w. ditanya oleh seorang sahabat, “Apakah ihsan itu?” Jawab Rosul, “ Ihsan itu adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau (Hadis Riwayata Bukhori).
 Menanamkan sifat ihsan kepada anak-anak berarti menanamkan kesadaran bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah Yang Maha Melihat. Kalau keyakinan ini tertanam kokoh pada jiwa anak, maka keyakinan inilah yang akan membentengi jiwa anak sepanjang hayatnya dari perbuatan-perbuatan maksiat kepada Allah. Dia akan
menyadari  bahwa tidak  ada lahan  yang bisa dijadikan tempat bersembunyi dari
pandangan Allah, sehingga dia melakukan suatu kebaikan bukan karena takut oleh manusia atau karena diperintah oleh orang tua melainkan atas dasar kesadaran pribadi yang timbul dari keimanan kepada Allah. Sikap dan sifat ini sangat penting untuk dijadikan bekal oleh anak dalam mengarungi pergaulan hidup kelak di tengah msyarakat. Dia tidak melakukan kejahatan bukan karena takut oleh polisi atau oleh orang lain, melainkan karena yakin bahwa perbuatannya akan dilihat oleh Allah.
Ketiga landasan itu dalam terminologi islam dikatakan dengan sebutan iman, islam dan ihsan. Tiga landasan itulah perlu kita tanamkan pada jiwa anak sedini mungkin karena ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan untuk membentuk sebuah pribadi muslim yang utuh dan menyeluruh. Wallahu a’lam.
           


Saturday, October 1, 2011

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
HARUS DIMULAI DARI RUMAH
Oleh Une Sasmita, S.IP
Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama bagi kehidupan seorang anak. Guru yang paling pertama dikenalnya adalah ibunya. Ibulah yang berperan paling dominan dalam membina dan mengarahkan kehidupan anak. Ke mana pendidikan itu diarahkan oleh kedua orang tua terutama ibu, maka ke sanalah pendidikan anak akan mengarah. Apakah kelak anak akan menjadi seorang manusia yang jujur atau seorang pendusta, seorang pemarah atau penyabar, semuanya tergantung kepada pendidikan awal yang dilaksanakan oleh keluarga di rumah.
Karena begitu dominannya pengaruh ibu terhadap pendidikan anaknya, Rosulullah Muhammad s.a.w pernah bersabda, “Sorga itu terletak di bawah telapak kaki ibu.” Artinya jejak langkah seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya akan dapat mewujudkan pribadi anak-anak yang salih. Sebaliknya karena kesalahan pendidikbnan para ibu pula, maka anak bisa menjadi manusia terlaknat, bahkan menjadi sampah masyarakat.
Dalam sebuah hadis lain Rosulullah bersabda, “Setiap anak dilahirkan atas dasar kesucian, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan ia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi,” Ungkapan Nabi tersebut menunjukkan betapa dominannya pendidikan di rumah tangga terhadap jalan kehidupan yang akan ditempuh seorang anak manusia.
Didiklah dengan cinta
Setiap anak yang lahir ke dunia ini akan selalu disambut dengan cinta kasih seorang ibu. Semua rasa susah payah yang dialaminya selama bayi berada dalam kandungannya, sekejap akan hilang karena berganti dengan kegembiraan. Namun ada pula bayi yang lahir, kemudian menjadi mangsa keganasan ibunya, karena kelahiran bayi itu akan menjadi bukti dari aib perbuatan amoralnya. Maka untuk menghilangkan jejak dari pandangan masyarakat, si ibu tega melenyapkan anaknya.
Curahan rasa cinta kepada anak merupakan tindakan pendidikan yang akan merefleksikan rasa cinta pula dari batin sang anak. Kepribadian anak yang dihiasi dengan cinta kasih dalam rumah tangga, akan terpancar dalam pergaulan sehari-hari anak dengan sesamanya. Seorang pakar pendidikan barat Dorothy Law Nolte menulis sederet ungkapan mengenai pengaruh pendidikan terhadap kepribadian anak yang antara lain berbunyi:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Karena besarnya pengaruh pendidikan di rumah tangga, maka jika kita ingin melihat bagaimana orang tua memperlakukan anaknya di rumah, cukup dengan melihat bagaimana anak itu bersikap terhadap temannya. Anak yang diperlakukan keras dan kasar, maka ia akan menjadi seorang yang kasar pula dalam pergaulan. Seorang anak yang selalu menyaksikan kedua orang tuanya ribut berantem di dalam rumah, tidak mustahil si anak akan menjadi biang keributan di tengah pergaulannya. Budi pekerti yang dibawa oleh anak ke tengah pergaulannya, merupakan label atau etiket dari produk pendidikan di rumah tangganya. Label itulah yang akan melekat dan mudah terlihat dari luar.
Fungsi rumah bagi seorang anak harus benar-benar menjadi sebuah “terminal” tempat dia berangkat dan tempat dia kembali. Sewaktu-waktu ia harus pergi ke luar rumah dan pada waktunya pula ia harus kembali. Anak yang terus-terusan berada di rumah, tentu akan tumbuh menjadi anak yang kurang pengalaman, bagaikan katak dalam termpurung, ia tidak pernah melihat dunia luar. Sebaliknya anak yang senang di luar rumah dan sering lupa pulang, maka jiwanya akan mudah terkontaminasi oleh pengaruh negatif di luar rumah.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan rumah kita sebagai sorga bagi anak-anak kita. Semoga!