Tuesday, September 13, 2011


MENYAMBUT KELULUSAN
Oleh Une Sasmita, S.IP.
(Guru SMP Negeri 4 Kota Sukabumi)

U
jian Nasional bagi siswa SMTP/SMTA yang duduk di kelas akhir, selalu dilaksanakan setiap tahun. Setiap itu pula kita menyaksikan tontonan gratis dari para siswa yang telah selesai mengikuti ujian.  Mereka mengekspresikan kegembiraannya secara over ekspresive. Seperti  mengecat rambut dengan warna mencolok, mencoret-coret pakaian, memoles wajah, ada juga yang kebut-kebutan di jalan, serta tindakan-tindakan  lain yang mengekspresikan diri seolah-olah telah lepas dari sebuah belenggu yang  telah memasung dirinya bertahun-tahun.

Gejala apakah gerangan yang sedang melanda hati kaum remaja  lulusan lembaga pendidikan kita? Kita tidak perlu menuding siapa yang bersalah. Baik menyalahkan lembaga pendidikan atau pun menumpahkan seluruh kesalahan kepada para remaja kita, bukanlah tindakan yang bijak. Bahkan dengan saling menyalahkan, berarti kita telah  membuat masalah baru, sementara masalah yang pokok  tidak tersentuh untuk kita selesaikan. Masyarakat menyalahkan lembaga pendidikan, lembaga pendidikan menyalahkan orang tua siswa, sememtara tindakan anak-anak kita dari tahun ke tahun bukan semakin sembuh.

Lepas dari Segala Ikatan
Secara ideal sekolah adalah tempat mengembangkan potensi fisik dan mental intelektual anak didik melalui pengembangan intelek, keterampilan fisik, dan pembinaan etika. Tiga pilar kegiatan lembaga pendidikan adalah mengajar, melatih dan mendidik. Di sekolah, mereka di ajar agar menjadi cerdas, dilatih agar menjadi trampil, dan dididik agar mengenal nilai-nilai moral untuk diterapkan dalam kehidupannya kini dan masa yang akan datang di tengah pergaulan dengan masyarakat.
2
Di sekolah mereka mulai diperkenalkan dengan  atauran-aturan formal secara tertulis dalam bentuk tata tertib sekolah.  Mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh. Pelanggaran  atas aturan-aturan itu akan berhadapan dengan sangsi-sangsi yang telah ditentukan. Mereka tidak pernah diajak untuk menentukan aturan-aturan itu. Mereka harus masuk belajar pada jam-jam tertentu. Jadwal pelajaran sudah ditentukan, lama belajar sudah ditetapkan sampai ukuran menit, pakaian yang dikenakan harus sesuai  baik warna maupun modelnya. Dengan kata lain mereka tidak memiliki kebebasan untuk  belajar sesuai dengan kesenangannya. Tidak bebas untuk berpakaian sesuai dengan warna atau model yang disenanginya.

Siswa yang  sedang asyik belajar mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minatnya, yang dibimbing oleh guru yang menjadi favoritnya, tiba-tiba bel berbunyi tanda waktu harus berakhir, dan mereka harus berganti dengan pelajaran lain yang tidak sesuai dengan minatnya, dan disampaikan oleh guru yang kurang menyenangkannya.Tapi mereka  dengan terpaksa harus rela untuk mengikuti aturan yang kaku yang dirasakannya sebagai belenggu. Partisipasinya  hanyalah sebagai pendengar yang pasif sambil menunggu-nunggu bel segera berbunyi tanda pelajaran berakhir.
Setiap hari para siswa  duduk di tempat yang sama, bertemu dengan orang yang sama, pekerjaan yang dikerjakannya dari hari ke hari begitu terus-menerus. Sehingga timbul kejenuhan akibat dari keadaan yang monoton. Di dalam kelas, mereka dibatasi dengan dinding yang kaku, di luar kelas mereka dibatasi dengan benteng yang memagari  sekeliling bangunan sekolah, di pintu ke luar dijaga oleh Satpam sekolah. Keadaan ini dirasakannya dalam waktu bertahun-tahun. Karena itu jam pelajaran bebas, merupakan saat yang menyenangkan. Hari libur adalah  hari yang paling menggembirakan. Mereka lebih senang berhadapan dengan hari Sabtu daripada   berhadapan dengan   hari Senin.    Hari Sabtu adalah hari yang ditung
3
tunggu karena besoknya hari Minggu adalah hari libur. Sementara hari Senin adalah hari yang harus berhadapan dengan berbagai kegiatan rutin.  Sebuah ironi yang mengeritik tipe remaja kita,  konon  anak-anak Jepang tertawa di hari Senin dan menangis di hari Sabtu. Sementara anak-anak kita tertawa di hari Sabtu dan menangis di hari Senin. Ungkapan ironis ini sangat sarat dengan gambaran etos kerja remaja kita.

Ujian akhir merupakan pintu terakhir dari ruang-ruang yang selalu membelenggu dan “memenjarakan” mereka. Juga ujian akhir merupakan pintu pertama untuk memasuki alam kebebasan, di mana mereka tidak akan berhadapan lagi dengan aturan-aturan yang memasung kebebasan bergerak dan berekspresi,   seolah-olah mereka akan memasuki jalan kehidupan yang  bebas hambatan. Sehingga tatkala ujian berakhir, apalagi setelah dinyatakan lulus, maka benteng penghalang itu menjadi ambruk dan terjadilah luapan emosi yang  seakan-akan tidak ada orang lain yang  bisa meredamnya.

Pendidikan Otak dan Hati

Kita terlalu banyak mengarahkan anak-anak  untuk menjadi manusia yang cerdas dan telah mengabaikan pembinaan budi pekerti untuk membentuk  anak-anak  agar menjadi manusia yang berakhlak mulia. Kita lebih menerapkan pendidikan yang hanya mengarah kepada  otak dari pada hati, yang akhirnya akan melahirkan manusia-manusia yang cerdas tapi egois, keras kepala, kurang peka terhadap penderitaan sesama. Bahkan mengeksploitasi sesama untuk kepentingan ego dan ambisi pribadinya. Sesuatu akan dianggapnya benar, kalau menguntungkan dan menyenangkan dirinya. Hedonisme telah merasuki jiwa. Agama yang menetapkan haram dan halal, tidak lagi dihiraukan karena hanya akan membatasi kesenangannya.


4
Untuk menyelamatkan generasi penerus yang kita cintai  ini, kita perlu menerapkan sistem pendidikan yang    dapat mengolah   raga, mengolah karsa, dan
mengolah rasa secara seimbang. Yakni membina insan-insan yang memiliki kesehatan jasmani dan rohani, insan yang aktif dan kreatif, serta memiliki keseimbangan antara kecerdasan intelek, dan kecerdasan emosi

Hanya dari pribadi-pribadi yang memiliki kercerdasan emosi yang tinggilah,  akan timbul pemikiran, “Tidakkah lebih terpuji kalau pakaian seragam para alumni itu aku himpun untuk disumbangkan kepada sesama  kita yang masih kesulitan untuk membeli baju seragam sekolah, daripada dicoret-coret hanya untuk kesenangan sesaat?”   “Tidakkah akan lebih terpuji, jika kebahagiaanku itu dimanifestasikan dalam bentuk bersyukur kepada Yang Maha Pencipta agar bertambah-tambah nikmat dan kebahagiaan itu kepadaku?”

Itulah generasi dambaan hati yang selalu kita rindukan dan harus  segera kita wujudkan melalui tindakan nyata untuk menyelamatkan generasi penerus kita. Semoga Allah menerangi jalan kita semua!

                                                (Dimuat  HU Pikiran Rakyat 4 Juli 2005)


No comments: