Saturday, September 17, 2011

ISTIKOMAH


ISTIKOMAH
Oleh Une Sasmita, S.IP
            Istikomah adalah sikap teguh pendirian untuk tegak berdiri di atas landasan kebenaran. Tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Sikap yang tidak mudah luntur oleh hujan dan tak mudah lekang karena panas. Senantiasa berjalan lurus di atas rel yang benar.
            Salah seorang sahabat Rosulullah s.a.w., Abdullah Ibn Abas dalam sebuah riwayat mengemukakan bahwa apabila kita keluar dari rumah, maka di hadapan kita telah menunggu tujuh ratus macam pintu dosa. Artinya bahwa kita harus senantiasa berhati-hati karena kemaksiatan selalu merongrong di sekitar kita. lewat mata, telinga, tangan, dan anggota badan kita yang lainnya.  Di situlah diperlukan keteguhan dan ketahanan jiwa.
 Sebuah tamsil dari sikap hidup yang tidak mudah goyah oleh rongrongan, godaan, dan gangguan arus kehidupan luar yang  daya tariknya lebih dahsyat dan memikat hati, adalah bagaikan  ikan yang hidup di lautan. Dia setiap saat bergelimang dengan asinnya air laut, tapi tubuhnya tetap tidak menjadi asin. Tamsil itu mengibaratkan keteguhan sikap yang disebut istikomah, yaitu sikap yang komitmen terhadap sesuatu yang diyakini sebagai nilai kebenaran. Keyakinan itulah satu-satunya kekayaan yang paling berharga yang nilainya lebih tinggi daripada harta,  bahkan jiwa sekali pun. Oleh karena itu orang yang istikomah  tidak akan mudah terkena godaan dan rayuan harta duniawi, sebab hal itu bukan menjadi tujuan hidupnya. Tujuan hidupnya adalah sebuah pengabdian kepada sesuatu yang diyakini kebenarannya. Demi keyakinan itulah  hidup dan matinya dipertaruhkan.
Dalam Al Qur’an Allah berfirman, “Dan tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” (QS 11 : 112).
Berpegang teguh kepada kebenaran merupakan puncak kemuliaan sebagai fardhu ain yang mutlak  untuk dilaksanakan tanpa syarat, karena sikap istikomah bukan  sikap yang kondisional dan bersyarat, melainkan sikap yang menyeluruh dan universal,  melintasi segala situasi dan kondisi. Dalam sebuah hadis Rosulullah pernah bersabda. “Bertakwalah kamu kepada Allah di manapun kamu berada.” Hal ini menunjukkan bahwa di manapun dan kapanpun, sikap komitmen terhadap kebenaran itu harus tetap dijunjung tinggi bahkan harus diperjuangkan apabila hal itu belum bisa  dicapai secara maksimal.
Akan tetapi desakan kebutuhan dan godaan materi, terkadang  telah banyak meluluhkan  sikap kita. Sikap yang teguh mudah menjadi goyah, kata-kata yang seolah-olah bertuah menjadi hambar, dan keikhlasan pun telah berubah menjadi pamrih yang penuh dengan nuansa kepentingan pribadi. Kita mudah  terpikat oleh indahnya pangkat dan kekuasaan, terkesima oleh gemerlapnya kehidupan dunia, sehingga kebenaran dan keadilan pun berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan.
 Rosulullah pernah bersabda, “Akan datang suatu masa, dimana pada saat itu orang yang memegang teguh agamanya bagaikan memegang bara ( dipegang terus akan membakar tangannya, tapi jika dilepaskan apinya akan mati”)  Betapa bijaknya Rosullullah memprediksikan munculnya sebuah tata kehidupan ummat yang masih membutuhkan tuntunan agama, namun karena kondisi masyarakat yang materialis dan hedonis, maka agama terasa bagaikan sebuah penghalang kebebasan dalam meraih kenikmatan duniawi, karena di dalamnya terdapat batasan halal dan haram. Akhirnya agama menjadi sesuatu yang terkadang dipegang dan terkadang dilepaskan. Kapan harus dipegang, dan kapan harus dilepaskan, tergantung kepada pertimbangan-pertimbangan yang berkonotasi dengan keuntungan materi bagi kepentingan ambisi pribadi. Hanya orang yang istikomah yang akan sanggup hidup bagaikan ikan di lautan yang tubuhnya tidak terkontaminasi oleh  asinnya air laut.  Pada tubuh ikan itu terdapat sebuah organ yang berfungsi sebagai filter yang sanggup menyaring partikel-partikel garam.  Filter pada diri kita adalah iman yang terpatri dalam jiwa.
Patut kita renungkan sebuah sya’ir seorang sastrawan Jawa masa lampau, Ronggowarsito (1802-1873) dalam Serat Kalatida berikut ini:
Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Melu edan ora tahan, Yen tan melu anglakoni, Boya kedumen melik, Kaliren wekasanipun, Dilalah kersa Allah, Bagja-bagjaning kang lali, Luwih bagja kang eling lan waspada.
(Jika mengalami jaman gila, betapa sulitnya mengambil sikap, ikut gila tidaklah tahan nurani, jika tidak ikut melakukan, tidak beroleh bagian rejeki, kelaparan itulah akibat akhirnya, tetapi atas kehendak Allah, semujur-mujurnya orang yang alpa, lebih mujur orang yang beriman dan waspada) Wallahu a’lam.



2 comments:

rizal_10.setiawan said...

bagus pak blog nya hehehhe

Unknown said...

Terimakasih atas kunjungannya